Senin, 26 Oktober 2009

Seorang Manajer Kesulitan Ibadah

Pertanyaan:
Saya seorang manajer di sebuah perusahaan asing (USA). Dan, seperti perusahaan asing pada umumnya, masalah menjalankan ibadah menjadi persoalan tersendiri. Meski di perusahaan itu sudah ada bangunan musalla, tidak menjamin karyawan di perusahaan tersebut dapat menjalankan ibadah dengan mudah. Seringkali saya bersama karyawan-karyawan lain harus terburu-buru, kalau tidak ingin “celaka”.



Kondisi yang seperti itu kadang-kadang mengusik saya untuk berbuat ekstrim, misalnya menyabotase mesin perusahaan agar mengalami gangguan. Kalau sudah seperti itu, saya baca istighfar. Perasaan itu pun kemudian mereda. Akhirnya saya bisa bersabat. Namun, dalam kurun waktu tertentu perasaan semacam itu “kambuh” lagi.

Melalui rubrik ini, saya ingin mendapatkan nasihat dari Bapak. Apakah yang harus saya lakukan menghadapi kebijakan perusahaan semacam itu. Mungkin ada teknik-teknik manajemen, human relation, atau apa pun namanya, pokoknya bisa saya jalankan sehingga persoalan semacam itu dapat terselesaikan. Saya sekaligus mewakili teman-teman sesama muslim di tempat kami bekerja, sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih.


Mulyadi
Rungkut Industri
Surabaya

Jawaban:
Yth. Saudara Mulyadi, persaoalan semacam itu banyak terjadi di mana-mana. Tapi dari peristiwa semacam itu paling tidak kita mendapatkan hikmah, bahwa persoalan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) –dalam hal ini hak untuk bebas menjalankan ibadah/agama– tidak didominasi oleh USA. Sebab selama ini banyak orang beranggapan, bahwa di dunia ini USA-lah negara yang paling menghormati kebebasan dan HAM. Sehingga banyak orang, termasuk kalangan aktifis yang tertipu bahwa orang-orang Barat itu sangat menghormati HAM.

Ketentuan dalam Islam jelas, setiap orang bebas menjalankan agamanya (Q.S. Al Kaafiruun). Bahkan kita dilarang memaksa kepada orang lain agar memeluk Islam. (Q.S. Al Baqarah 256). Tapi bagi setiap muslim wajib memegang teguh agama, bahkan jangan sampai seseorang meninggal dunia, kecuali dalam keadaan muslim.

Kembali pada persoalan Saudara, hal pertama yang perlu ditetapkan dalam hati adalah berpikir positif dan melakukan penyelesaikan masalah secara spiritual. Pertama, meyakini bahwasanya kebijakan “mempersulit ibadah” itu hanyalah kebijakan perseorangan, bukan kebijakan perusahaan. Karena itu, Saudara mesti bersabar dan yakinlah bahwa Allah Swt bakal mengganti orang yang memiliki kebijakan semacam itu akan diganti dengan orang yang lebih baik.

Namun, jika kebijakan semacam itu sudah merupakan kebijakan perusahaan, maka Saudara wajib bersikap. Hijrah. Artinya, untuk dan atas nama Allah Swt, sebagai muslim Saudara wajib ke luar dan mencari pekerjaan di tempat lain. Mungkin istri Saudara, orang tua Saudara, mertua Saudara, atau hati Saudara sendiri berbisik:: Jangan!. Saat ini sulit mencari pekerjaan. Katakanlah –bila perlu catat dalam secarik kertas dan simpan di saku– kemudian baca berulang-ulang setiap saat, setiap usai shalat wajib, sehingga firman Allah Swt itu menancap kuat dalam pikiran Saudara: Sesungguhnya Allah Swt memberikan rizki kepada siapa saja yang dikehendaki tanpa batas! (Q.S. Al Baqarah 212 dan Q.S. An Nur 38). Wallahu’alam bisawwab.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar